Takbir lebaran merupakan salah satu amalan dzikir lisan yang dianjurkan dalam Islam untuk membesarkan nama Allah dan merayakan hari kemenangan setelah berpuasa di bulan Ramadhan.
Namun, seiring berkembangnya teknologi, fenomena takbir kini sering kali dilakukan dengan cara memutar rekaman suara atau video di masjid, mushala, hingga dalam pawai takbir keliling. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah takbir yang dilakukan dengan media teknologi tersebut, tetap mendapatkan pahala kesunnahan?
Mengumandangkan takbir lebaran dengan cara memutar rekaman suara atau video dapat menampakkan syiar hari raya, namun rekaman tersebut tidak dapat menggantikan anjuran zikir dengan lisan secara langsung.
Selain itu, perlu diperhatikan terkait pemutaran rekaman melalui pengeras suara dalam mengumandangkan takbir, baik yang dilakukan di masjid, mushala, maupun saat pawai takbir keliling. Hal itu harus dilakukan secara proporsional, tidak terlalu keras sehingga dapat mengganggu orang lain.
Makna dan Hukum Takbir Lebaran
Takbir lebaran adalah ibadah lisan yang dianjurkan (sunnah) dalam Islam, pada malam hari raya, sebagai bentuk syukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan, terutama setelah menyelesaikan ibadah puasa. Dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:
Artinya, “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan (puasa Ramadan) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS Al-Baqarah: 185).
Muhammad bin Qasim Al-Ghazi mengatakan, disunahkan takbir bagi laki-laki dan perempuan, musafir dan mukim, baik yang sedang di rumah, jalan, masjid, ataupun pasar. Dimulai dari terbenam matahari pada malam hari raya berlanjut sampai shalat Idul Fitri. (Fathul Qarib, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2014], halaman 162).
Hukum Mengeraskan Suara Bacaan Takbir
Dalam membaca takbir lebaran, disunahkan untuk membacanya dengan suara yang keras (lantang), baik di rumah-rumah, jalan-jalan, masjid-masjid, maupun pasar-pasar. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menampakkan syiar hari raya. (Ahmad Al-Qulyubi, Hasyiyah Al-Quryubi, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2015], juz I, halaman 458).
Kendati demikian, dalam menjalankan syiar agama, tentu harus tetap dalam proporsinya, dengan tidak berlebihan dalam mengeraskan suara sehingga berpotensi menggelisahkan dan mengganggu orang lain.
Sayyid Alawi Al-Maliki menjelaskan, bahwa syariat Islam dibangun atas dasar menolak mafsadat dan mendatangkan kemaslahatan. Bukankah penggunaan pengeras suara ini, andaikan terdapat kerusakan dan gangguan terhadap orang lain, maka wajib dihentikan, karena hilangnya tujuan utama (menolak mafsadah) dari penggunaan tersebut. (Majmu’ Fatawa wa Rasail, halaman 174).
Sementara Sayyid Zain bin Muhammad Al-’Idrus menyampaikan, menggunakan mikrofon dengan pengeras suara luar, kecuali untuk azan, jika menimbulkan ketidaknyamanan, kerugian, atau memperburuk keadaan bagi umat Islam maka hukumnya haram menurut hukum Islam, meskipun yang dirugikan adalah minoritas.” (I’lamul Khas wal ‘Am bi Anna Iz’ajan Nas bil Mikrufun Haram, halaman 37).
Takbir dengan Rekaman: Apakah Memenuhi Kesunnahan?
Ibnu Shalah menjelaskan bahwa takbir lebaran memiliki dua makna, yang pertama adalah sebagai syiar hari raya, dan yang kedua sebagai bentuk dzikir lisan yang dianjurkan setiap saat. (Syarhu Musykilil Wasith, [Riyadh, Darul Kunuzi Isybiliya], juz II, halaman 324).
Para ulama menjelaskan, bahwa amalan dzikir yang dianjurkan dalam takbir adalah mengucapkannya secara langsung dengan lisan, baik secara individu maupun berjamaah. Karena itu, memutar rekaman tanpa diikuti oleh lisan secara langsung tentu tidak akan mendapatkan pahala dzikir lisan.
Menurut Imam An-Nawawi, setiap dzikir, baik yang wajib maupun sunah, tidak sah kecuali diucapkan secara lisan.
Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya zikir-zikir yang disyariatkan dalam shalat dan selainnya, baik yang wajib maupun sunah, tidak dianggap sah dan tidak diperhitungkan kecuali diucapkan secara lisan.” (Al-Adzkar An-Nawawiyah, [Beirut, Darul Fikr: 2016], halaman 16).
Ibnu ‘Allan, dalam syarahnya, memperjelas bahwa maksud pernyataan Imam An-Nawawi tersebut, adalah kewajiban dzikir tidak dianggap gugur dan kesunahan tidak tercapai kecuali diucapkan dengan lisan hingga terdengar oleh telinga.” (Al-Futuhatur Rabbaniyah ‘alal Adzkar An-Nawawiyah, juz I, halaman 155).
Dengan demikian, memutar rekaman takbir tidak dapat menggantikan kesunahan takbir yang diucapkan secara langsung. Rekaman hanya menjadi sarana pengingat, bukan pengganti amalan. Sebab takbir merupakan bacaan atau zikir yang harus dilakukan dengan lisan dan kesadaran penuh.
Adapun terkait fungsinya sebagai syiar hari raya, hal ini dapat disamakan dengan rekaman azan untuk menunjukkan masuknya waktu shalat. Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hal tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa rekaman azan cukup untuk menunjukkan waktu shalat, sehingga sunah untuk dijawab.
Sedangkan pendapat yang lain mengatakan tidak disunahkan untuk menjawab rekaman azan, karena itu hanya sekedar suara tiruan, sehingga tidak perlu untuk dijawab. Berdasarkan pendapat ini, maka rekaman takbir lebaran sama sekali tidak dapat menggantikan takbir dengan lisan secara langsung.
Legalitas rekaman sebagai pengganti bacaan lisan disampaikan oleh Muhammad bin Ahmad As-Syathiri sebagai berikut:
Artinya, “Jika suara rekaman azan itu setelah masuk waktu shalat – menurut apa yang tampak bagiku – disunahkan untuk menjawabnya, karena rekaman azan itu dikhususkan untuk memberitahu waktu shalat, maka tidak jauh dari kemungkinan bahwa itu sah dan disunahkan untuk menjawabnya.” (Syarul Yaqutin Nafis, juz I, halaman 253).
Sedangkan penolakan rekaman suara sebagai pengganti bacaan lisan disampaikan oleh Syekh Ismail Zain sebagai berikut:
Artinya, “Adapun jika adzan berasal dari rekaman kaset, maka tidak disunahkan untuk menjawabnya, karena itu hanya tiruan, dan tiruan tidak perlu ditirukan. Wallahu a’lam.” (Qurratul ‘Ain bi Fatawi Ismail Az-Zain, halaman 58).
Demikian penjelasan terkait takbir dengan menggunakan rekaman. Secara kesimpulan, menggunakan rekaman untuk menyebarluaskan takbir lebaran memang dapat membantu menciptakan suasana syiar yang semarak. Namun, dalam aspek kesunahan, sebaiknya setiap individu tetap bertakbir secara langsung dengan lisan, agar mendapatkan keutamaan ibadah ini.
Rekaman bisa menjadi sarana pendukung, tetapi tidak menggantikan esensi takbir yang dianjurkan dalam Islam. Karena itu, mari kita manfaatkan teknologi dengan bijak dan tetap menghidupkan sunah Rasulullah saw dengan bertakbir secara langsung di malam kemenangan. Wallahu a’lam.
Tulisan Terkait :
Hukum Islam Menggunakan Jasa Penukaran Uang untuk Lebaran
Lebaran 2025, Ratusan Masjid di Kalsel Siap Menjadi Rest Area Pemudik
Lebaran 2025, 79 Persen Jalan Provinsi Kalsel Siap untuk Arus Mudik
20 Tempat Penitipan Hewan, Jangan Biarkan Hewan Kesayangan Terlantar Saat Pergi Mudik
(*Penulis : Ustadz Muhammad Zainul Millah, Wakil Katib PCNU Kabupaten Blitar, nu.or.id)
Attention : Bagi Anda yang ingin berkomentar, silahkan mengunjungi media sosial kami, seperti yang tertulis di footnotes paling bawah halaman ini!