Memperhatikan bagaimana tahun 2024 dipenuhi dengan drama legal dan film kontroversial bertemakan penegakan hukum, Sang Pengadil muncul ke layar lebar mengikuti arus tren dengan sudut pandang seorang hakim. Disutradarai oleh Girry Pratama dan Jose Poernomo, film ini kabarnya mengambil langkah untuk menayangkan film ini tak hanya di Indonesia, namun juga di Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Melihat pencapaiannya, film bergenre drama aksi yang dibintangi oleh Arifin Putra dan Prisia Nasution dan telah tayang sejak Kamis, 24 Oktober 2024 telah dihadiri oleh 31.255 penonton seluruh Indonesia di hari perilisannya.
Dalam bayang-bayang kematian ayahandanya yang terkenal sebagai hakim jujur dan adil, Jojo (Putra) pun memutuskan untuk mengikuti jejaknya sebagai sang pengadil. Bertekad untuk menjadi seorang hakim yang selalu berpihak pada sisi yang benar, membantu mereka yang tidak memiliki akses untuk melindungi diri sendiri dengan hukum, Jojo pun mendapatkan reputasi sebagai hakim yang tajam ke atas dan tumpul ke bawah, berkebalikan dengan kesan hukum di masa kini. Namun misteri yang berkaitan dengan masa lalunya datang ke meja pengadilannya, bersamaan dengan kemunculan rekan sesama hakimnya, Abigail (Nasution), yang ditunjuk untuk menyelesaikan pengadilan kasus human trafficking yang tiba-tiba menguak.
Terjun ke dalam film ini adalah keputusan yang mengecewakan apabila dilakukan dengan ekspektasi standar film layar lebar. Singkatnya, bisa dikatakan bahwa film ini berada di tingkatan amatir. Mulai dari plot dan cerita, pengemasan hingga penyusunan script. Ada begitu banyak scene yang tidak diperlukan dan tidak efektif, serta keputusan editing yang tidak maksimal. Sepanjang durasi, sepertinya gaya pengemasan dan cerita yang ingin disampaikan berada di dua spektrum yang berkebalikan.
Mengangkat kasus human trafficking dan mengambil genre aksi, namun membuang waktu di adegan-adegan pengadilan yang panjang, membosankan, hambar, dan disusun dengan subpar. Benar-benar seperti seember air es yang dituang ke kepala penonton. Mengambil jalur realistis di segmen pengadilan adalah keputusan yang buruk, jika memang ingin berfokus di genre aksi dan misteri. Perubahan tone yang drastis antara bagian pengadilan dan aksi terlalu jomplang, maka lebih baik segmen aksi dijadikan sebagai bumbu.
Jika adegan pengadilan dipotong dengan lebih efektif, membuang bagian-bagian yang tidak perlu dan berani mengorbankan beberapa bagian ‘realistis’, mungkin itu akan menambahkan alur menegangkan dan dramatis yang berpotensi tercipta dalam film ini.
Belum berhenti di sana, kesan amatir di film ini semakin diperkuat dengan begitu banyaknya dialog klise dan tidak perlu, akting yang tidak terasah dan terarah dengan baik, serta kualitas finishing yang terkesan murah. Mulai dari dialog voice-over yang berbeda dengan gerak bibir, hingga overlay screen presentasi yang ditempel dengan seadanya, bagaikan projek do it yourself setingkat penugasan mahasiswa perkuliahan. Ini belum menyinggung soal sound design yang sangat acak-acakan.
Bicara soal cerita, oke, ide utamanya bisa dibilang cukup menarik untuk layar lebar, tapi itu pun berbelok secara mengecewakan di tengah. Terlepas dari pengemasan, penyutradaraan, hingga keputusan estetika film ini, plot yang pada akhirnya diputuskan sebagai hasil akhir sangat tidak memuaskan. Premis yang dibangun di awal terasa percuma apabila itulah resolusi yang ditawarkan di film. Plot dibuang begitu saja dan fokus perspektif digeser seluruhnya, tepat setelah poin yang seharusnya bisa digunakan sebagai klimaks film. Keputusan ini terasa terlalu memaksa.
Sang Pengadil adalah film yang tidak tahu ingin menjadi film macam apa. Fokus yang tercerai-berai dari setiap unsur pembentukannya, serta plot yang tidak terselesaikan dengan memuaskan.
(*Penulis : Rossita Anggraeni, montasefilm.com)
Attention : Bagi Anda yang ingin berkomentar, silahkan mengunjungi media sosial kami, seperti yang tertulis di footnotes paling bawah halaman ini!