Setelah era reformasi, banyak mahasiswa di berbagai kampus menjadi ‘liar’. Yang semula pada lugu dan santun, tiba-tiba menjadi calutak dan brangasan. Hal itu juga terjadi pada mahasiswa di kampus UPI Bandung. Beberapa mahasiswa tampak minculak.
Maka ketika digelar acara Sastrawan Bicara Mahasiswa Bertanya di kampus IKIP oleh Majalah Horison awal awal abad 21, dengan menghadirkan Sutardji Calzoum Bachri (SCB) sebagai salah satu pembicara dari sastrawan, minculaknya mahasiswa itu muncul.
Selesai SCB bicara, moderator mempersilakan mahasiswa yang mau bertanya. Banyak tuh mahasiswa rise hand. Moderator memilih mahasiswa yang angkat tangan sambil berdiri, seakan ia harus didahulukan sebagai penanya.
“Mengapa Kau itu, kau lagi kau lagi yang hadir bicara di forum, termasuk di kampus putih ini. Apa memang tidak ada penyair lain? Bosan aku, Tardji lagi Tardji lagi. Dan kau itu, kenapa sih yang di kedepankan puisi lagi puisi lagi. Kau kan punya buku kumpulan cerpen, itu kan yang lebih baru daripada O Amuk Kapak!”
Itu mahasiswa bilangnya Kau, ke SCB. Tapi SCB tampak ketawa-ketawa pendek, yang menjadi ciri khasnya.
“Begini. Kenapa aku lagi, aku lagi yang ditunjuk oleh panitia untuk bicara, itu jangan tanya ke aku, dan jangan salahkan aku. Kau tanyalah ke panitia. Kau salahkan panitia. Tapi panitia juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Itu HB Jassin dan Popo Iskandar yang harus disalahkan. HB Jassin bilang, penyair yang sampai ke puncak itu Chairil Anwar dan aku. Popo Iskandar, itu dosen kalian ya di kampus ini, bilang Chairil itu ibarat mata kanan dan Tardji ibarat mata kiri. Kalian kira aku senang sekarang ini? Aku sampai di puncak menyusul Chairil, tapi Chairil sudah mati. Aku sendirian di puncak. Apa kalian anggap aku senang? Tidak! Aku kesepian sendirian di puncak. Nunggu kalian sampai ke puncak, entah kapan. Coba kalian berlari biar sampai ke puncak, temani aku! Kumpulan cerpen Melukis Ayam, kalian anggap itu terbaru? Kau boleh bodoh, tapi tolonglah jangan memperlihatkan kebodohan di depan publik. Aku tuh duluan nulis cerpen, sebelum menulis puisi. Namun kawan-kawan mendorongku untuk membukukannya belakangan ini. Coba kau baca dulu dengan jeli, supaya pernyataanmu tidak terlihat bodohnya!”
Selesai SCB menjawab, moderator bertanya lagi ke mahasiswa, ada yang mau bertanya lagi? Semula peserta pada angkat tangan berlomba. Kini jadi diam semua. Ada yang masih akan bertanya? Setelah diulang tiga kali, akhirnya ada yang angkat tangan, seorang mahasiswi berkerudung.
“Kenapa Bapak berambut gondrong dan dikepang dua, padahal Bapak kan sudah al-Haj?”
Pertanyaan ini jelas keluar dari konteks sastra. Tapi lagi-lagi SCB ketawa-ketawa kecil, dan menjawab pertanyaan tersebut.
“Ade mestinya tahu, Nabi Ibrahim itu berambut gondrong. Nabi Muhammad itu rambutnya sebahu. Yesus lebih gondrong dari aku, dan berambut kelimis. Coba beli saja poster bergambar Yesus, biar tahu. Jadi aku tuh gondrong ngikuti para Nabi ya. Soal dikepang dua, ini kan biar praktis. Kalau aku sujud, itu rambut suka merumbai dan menutupi wajah, jadi wajahku tidak kelihatan jelas. Itu bisa membingungkan malaikat, siapa ini yang sujud. Kalau rambut dikepang, nah saat sujud, kepang kanan dan kiri, jatuh ke samping wajah, wajahku masih terlihat jelas dari kejauhan. Nah malaikat bisa langsung tahu, oh itu Tardji yang sedang sujud!”
Masih ada yang bertanya? Tanya moderator! Sepi, ya sepi.
(*Penulis : Doddi Ahmad Pauji, tirastimes.com)
Attention : Bagi Anda yang ingin berkomentar, silahkan mengunjungi media sosial kami, seperti yang tertulis di footnotes paling bawah halaman ini!