Menteri Kebudayaan Republik Indonesia Fadli Zon memimpin proyek ambisius, penulisan ulang sejarah Indonesia. Usman Hamid mengatakan revisi naskah sejarah berpotensi menghilangkan peristiwa dan ketokohan yang dinilai tak cocok dengan kepentingan kekuasaan.
Dilansir dari tempo.co, pemerintah sedang mengerjakan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan, pemerintah menargetkan proyek ini rampung pada Agustus nanti. Target penyelesaian penulisan ulang sejarah Indonesia itu, dirancang agar bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025.
Fadli menyebutkan, pemerintah membuka ruang diskusi mengenai penulisan ulang buku sejarah Indonesia. Dia mengatakan forum diskusi perihal draf buku sejarah yang baru, dapat dilaksanakan setelah penyusunan rancangan buku sejarah itu rampung atau setidaknya mendekati selesai.
“Ya, tunggu dulu bukunya, atau sampai progres, saya sampaikan tadi mungkin 70 persen, 80 persen. Sekarang sudah di atas 50 persen,” katanya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 26 Mei 2025.
Dia menuturkan penulisan ulang sejarah Indonesia melibatkan 113 penulis, 20 editor jilid, dan tiga editor umum dari kalangan sejarawan serta akademisi bidang ilmu arkeologi, geografi, sejarah, dan ilmu humaniora lainnya.
Penulisan ulang sejarah Indonesia itu menyulut pro kontra di masyarakat. Sejumlah kalangan menolak penulisan ulang sejarah Indonesia tersebut.
Labelisasi terhadap pihak yang menolak disebut radikal dan sesat sejarah
Anggota Komisi X DPR Bonnie Triyana, menyoroti munculnya labelisasi terhadap kelompok masyarakat yang menyampaikan pandangan kritis, terhadap proyek penulisan ulang sejarah Indonesia itu.
Kritik itu muncul setelah Direktur Sejarah dan Kemuseuman Kementerian Kebudayaan Agus Mulyana, menyebutkan pihak yang menolak dan mengkritik proyek penulisan sejarah itu sebagai kelompok radikal dan sesat sejarah.
“Saya membaca di media, ada yang menyebut kelompok pengkritik proyek ini sebagai sesat, bid’ah sejarah, bahkan radikal. Saya minta klarifikasi dari Direktur Sejarah dan Kemuseuman,” kata Bonnie dalam rapat kerja bersama Kemenbud pada Senin, 26 Mei 2025.
Bonnie menyebutkan kelompok yang hadir menyampaikan kritik terhadap proyek tersebut, antara lain dipimpin oleh Marzuki Darusman, tokoh senior Golkar yang pernah menjabat sebagai Jaksa Agung di era Presiden Abdurrahman Wahid, Ketua Komnas HAM, hingga pelapor khusus PBB untuk isu HAM.
Dia juga menyebutkan nama Kiai Imam Aziz, tokoh Nahdlatul Ulama yang pernah menjabat di PBNU.
“Apakah tokoh-tokoh seperti Pak Marzuki dan Kiai Imam ini yang disebut sesat dan radikal?” ujar Bonnie.
Dia mengingatkan, agar pejabat negara tidak mudah melabeli kelompok masyarakat yang memiliki pandangan berbeda dalam isu sejarah.
“Ini saatnya kita hentikan stigma dan label. Kritik sedikit dibilang radikal. Celana cingkrang dikira teroris. Besok-besok dibilang komunis, Taliban. Jangan main stempel begitu. Karya sejarah macam apa yang bisa dihasilkan bila pendekatannya dilandasi stigma?” kata Bonnie.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menanggapi kritikan dari Bonnie. Fadli mengaku tak tahu-menahu perihal pernyataan yang disampaikan anak buahnya itu. Dia menegaskan pernyataan Agus Mulyana sebagai pernyataan pribadi dan bukan mewakili institusi Kemenbud.
“Saya tidak tahu. Terus terang. Di dalam diskusi itu saya kira kalau pun ada semacam itu, jelas bukan sikap dari kementerian. Biasalah. Beliau ini kan dwifungsi, trifungsi sebagai sejarawan, sebagai ketua umum masyarakat sejarawan atau sebagai pribadi. Jadi kalau ada hal-hal itu, kami sangat terbuka menerima masukan dari berbagai kalangan, dari sejarawan lainnya,” kata Fadli.
Dia juga menyampaikan permohonan maaf atas pernyataan Agus Mulyana, yang dinilai menyinggung dan melabeli masyarakat yang menolak proyek penulisan sejarah yang tengah digarap Kemenbud.
“Kalau ada ungkapan seperti itu, tentu kami juga mohon maaf,” ucapnya.
Sebelumnya, Agus Mulyana menyatakan kelompok yang menolak penulisan sejarah sebagai kelompok yang bisa disebut sebagai bid’ah sejarah dan sesat.
“Ada kelompok yang bilang proyek ini untuk mencuci dosa masa lalu. Saya kira itu perspektif yang bisa disebut bid’ah sejarah,” kata Agus dalam diskusi dengan PBNU, dikutip dari Youtube resmi PBNU, Senin, 26 Mei 2025.
Dia mengatakan, meski ada pihak yang tidak setuju dengan penulisan ulang sejarah, hal itu tak jadi penghalang untuk menghentikan proyek tersebut.
“Masa kita tidak boleh menulis sejarah di era keterbukaan seperti ini? Di era keterbukaan inilah, saya juga orang kampus, bukan birokrat murni. Di sini kita justru (bisa memahami), ya, pasti tidak akan memuaskan semua sepenuhnya,” kata Agus.
Kritik arkeolog atas penulisan ulang sejarah indonesia
Arkeolog Harry Truman Simanjuntak mengkritik istilah ‘sejarah resmi’, dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang dimotori oleh Kementerian Kebudayaan. Profesor dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional – kini telah melebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) – sejarah yang mau dibentuk dikhawatirkan sesuai keinginan penguasa, bukan murni atas fakta.
“Setiap orang berhak menyusun sejarah sepanjang ada data yang dimiliki. Soal benar atau tidak, masyarakat keilmuan yang akan menilai,” katanya pada Jumat, 23 Mei 2025.
Truman, yang merupakan pimpinan Center of Prehistory and Austronesian Studies Indonesia, mengatakan penggunaan istilah ‘sejarah resmi’ masih akan dipertanyakan, meski penyusunannya melibatkan para ahli. Dia mengaku heran soal proyek penulisan tersebut.
“Sejak kapan pemerintah memiliki kuasa dan kewenangan untuk menulis sejarah resmi, sedangkan versi lain tidak dikatakan resmi,” katanya.
Menurut Truman, penulisan ulang sejarah Indonesia merupakan pembaruan versi sebelumnya. Berbagai penemuan baru sudah terungkap sejak belasan tahun lalu. Sayangnya, dalam proses tersebut, muncul istilah baru yang justru menimbulkan perdebatan.
Dia mengundurkan diri dari Tim Penulisan Ulang Sejarah Indonesia sejak 22 Januari 2025. Sempat menjadi editor untuk bagian jilid satu tentang sejarah, dia memutuskan berhenti karena berbeda pendapat secara akademis dengan anggota lainnya. Padahal, durasi kerja tim belum genap sepuluh hari.
Dalam diskusi perdana tim, Trumen bercerita peserta sudah diberikan outline, kemudian hanya diminta diisi konten-konten yang relevan. Hal ini dianggap janggal, karena ringkasan tersebut semestinya didiskusikan dulu oleh para editor yang terdiri dari sejarawah dan prasejarawan.
Penerima Sarwono Award 2015 ini juga tidak setuju dengan istilah ‘sejarah awal’ pada jilid satu, yang menurut dia, semestinya menggunakan kata ‘prasejarah’. Untuk urusan istilah, sudah ada perbedaan dari sisi epistemologis, metode, hingga pendekatan ilmiah.
“Dari sudut keilmuan, ini sudah salah. Sejarah itu setelah mengenal tulisan, kalau awal sejarah kita adalah periode Hindu-Buddha, dan itu bukan prasejarah,” ujarnya. Truman mengaku berdebat dengan salah satu editor dan sejarawan lain.
Usman Hamid ingatkan potensi manipulasi dalam revisi naskah sejarah
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, mengatakan penggunaan label ‘sejarah resmi’ dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia, akan menutup pintu bagi interpretasi yang beragam dan dinamis di masyarakat. Dia berpendapat penulisan ulang sejarah oleh negara, merupakan upaya rekonstruksi dengan tujuan kultus individu dan glorifikasi masa lalu yang berlebihan.
Kebijakan revisi naskah sejarah ini, dia mengatakan berpotensi menghilangkan peristiwa dan ketokohan yang dinilai tidak cocok dengan kepentingan kekuasaan.
“Tindakan semacam ini adalah manipulasi sejarah. Betapapun gelapnya sejarah, ia harus tetap ditulis meski berdampak terhadap tragedi kemanusiaan dan mengungkapkan kesalahan kebijakan negara di masa lalu,” kata Usman dalam keterangan tertulis Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) pada Senin, 19 Mei 2025.
Menurut Usman, pengungkapan sejarah, bukan penulisan ulang sejarah, bertujuan agar generasi muda dapat belajar dan tidak mengulangi masa gelap yang terjadi di masa lalu. Dia menyebutkan penulisan ulang sejarah itu sebagai bentuk pemaksaan satu tafsir tunggal. Revisi naskah sejarah, kata dia, adalah upaya reduksi yang berbahaya dan berpotensi mengebiri kebebasan berpikir dan menumpulkan daya kritis generasi mendatang.
Usman, yang merupakan anggota AKSI, menyatakan penulisan ulang sejarah dan memberikan label ‘sejarah resmi’ adalah kebijakan otoriter negara untuk melegitimasi kekuasaannya. “Program ini harus segera dihentikan,” kata Usman. (*)
BACA JUGA :
Dana Bantuan Parpol Naik, tak Otomatis Cegah Korupsi
Bagi-bagi Bansos untuk Pemberantasan Kemiskinan: Apa Perlu Dilanjutkan?
Teramat Celeng, Pelajar Kritik Korupsi di Indonesia
Preman Jalanan dan Preman Berdasi, Bisakah Diberantas?
Hanya Hukuman Mati yang Bisa Berantas Korupsi di Indonesia
Tragedi Demokrasi, Warisan Jokowi Paling Nyata untuk Indonesa!
Lesti Kejora Nyanyikan Lagu Ciptaan Yoni Dores Tanpa Izin
Raja Kebudayaan, Pangeran Cevi Al Banjari Dinobatkan Sebagai Sultan Banjar Kalimantan
Hendropriyono : Jangan Keturunan Raja yang Abal-Abal, Kerjanya Cuma Ngirim Proposal!
(*PraPeN : araska banjar)
Attention : PraPeN “Readers” yang ingin bergabung dengan media sosial kami, bisa melihat tautannya di footnotes paling bawah halaman ini!